Kekalahan Diego Maradona Lahirnya Liga Champions

Kekalahan Diego Maradona Lahirnya Liga Champions

Kekalahan Diego Maradona Lahirnya Liga Champions memicu liga tersebut. Setelah melihat eliminasi dini Napoli di Eropa, Silvio Berlusconi “ketakutan” dan mengusulkan kompetisi baru.

Diego Maradona dan Liga Champions

Kelahiran Liga Champions pada 1992, tak diragukan lagi, telah membentuk sepakbola modern yang kita kenal sekarang ini. Kekalahan Diego Maradona Lahirnya Liga Champions identik dengan komersialisasi, uang yang berlimpah. Tentu saja sebuah kompetisi sepakbola glamor nan bergengsi tempat berkumpulnya tim-tim elite Eropa. Semua itu berkat restrukturisasi European Cup atau Piala Champions sekitar 30 tahun lalu.

Ironisnya, semua kemewahan olahraga ini dimulai dari sebuah partai babak pertama Piala Champions yang digelar tanpa penonton: Real Madrid vs Napoli di Santiago Bernabeu pada 1987. Saat itu, semua orang sangat menantikan aksi Napoli yang diperkuat Diego Maradona. Itu lantaran mereka baru saja menjuarai Serie A dan langsung memulai debut mereka di Eropa menghadapi Madrid.

Namun ada satu orang yang tidak antusias dengan pertandingan itu, yakni Silvio Berlusconi. Pemilik AC Milan. Dia merasa ngeri, karena salah satu dari dua klub raksasa itu akan tersingkir di babak awal. Ketakutannya semakin menjadi ketika ia menyaksikan Maradona dibuat tak berkutik di Madrid, seiring Napoli takluk 2-0 dan tampil buruk di stadion yang kosong. Mulai saat itu, Berlusconi tak ingin membiarkan laga seperti itu terulang lagi.

Silvio Berlusconi

Merasa gelisah dan takut bahwa AC Milan bisa mengalami hal serupa di masa depan, Berlusconi mendapat ilham untuk menciptakan Liga Super Eropa. Ide ini sebetulnya sudah ada sejak lama, tapi tak ada yang menganggapnya serius. Berlusconi adalah seorang konglomerat media. Ia melihat sepakbola sebagai sebuah komoditas komersial yang bisa dipoles dan dijual.

Konglomerat ini lalu menunjuk Alex Flynn dari agensi Saatchi & Saatchi untuk membuat detail kompetisi pecahan dari Piala Champions. Lengkap dengan skema perputaran uang melalui hak siar. “Saya melakukan apa yang diinginkan Berlusconi,” kata Flynn kepada The Independent pada 2017. “Jadi, Liga Super Eropa ini berbasis pada gengsi, tradisi, dan televisi sehingga ini adalah liga yang diperuntukkan untuk pasar raksasa televisi.”

Namun, rencana Berlusconi untuk menggelar liga super ini tidak pernah terlaksana. UEFA menolak rancangan kompetisi baru itu. Meski begitu, benih sudah ditabur. UEFA mendadak gugup dan sadar bahwa mereka harus berbenah. UEFA melihat adanya potensi besar dari proposal Berlusoconi. Revolusi yang ada di depan mata.

Liga Champions dan Silvio Berlusconi

Pada 1990, setelah Piala Dunia yang membosankan, ada ajakan bahwa sepakbola harus berubah. Aturan off-side dimodifikasi untuk menguntungkan penyerang. Lalu dua tahun kemudian back pass ditiadakan. Dalam atmosfer seperti ini, Berlusconi seperti mendapat momentum.

“Piala Champions adalah sebuah anakronisme sejarah. Sebuah kompetisi yang secara ekonomi tidak masuk akal karena klub seperti Milan bisa tereliminasi di babak pertama.”

Pada musim panas 1992, setelah melihat Inggris melahirkan Liga Primer, UEFA menerima proposal dari Campbell Oglivie, sekretaris jenderal Rangers. Guna mengadopsi fase grup setelah babak pertama dan babak kedua. UEFA mengubah format kompetisi dan melakukan rebranding. Mereka meniru Liga Primer dengan fokus pada pemasaran, komersialisasi, dan hak siar.

Demikian Television Event & Media Marketing diajak untuk membantu konsep baru ini dan mereka mengusulkan sebuah lagu tema dan logo baru berupa bola bermotif bintang. Tekanan yang dilakukan Berlusconi terbukti berhasil.

UEFA sukses dibuat cemas dan pasca kekalahan Diego Maradona lahirnya Liga Champions. Di Inggris, Liga Primer disalahkan karena menimbulkan kesenjangan ekonomi, tapi ini tidak sepenuhnya benar. Uang dari hak siar dibagi relatif rata kepada 20 klub peserta. Kendati ada parachute payment (biaya bonus untuk tim yang terdegradasi) yang kontroversial, nyatanya terdapat 49 klub yang pernah merasakan Liga Primer.

Penyebab utama dari kesenjangan finansial adalah uang dari Liga Champions, yang terus meningkat dari musim ke musim. Di musim 2019/20, uang sebesar €2,04 miliar didistribusikan ke klub-klub peserta Dimana jumlah yang hampir empat kali lipat lebih banyak ketimbang sepuluh musim sebelumnya (€583 juta di musim 2009/10). Musim lalu, Liverpool mampu mengantongi lebih dari £100 juta setelah menjadi juara. Sementara itu, tim yang kalah enam kali di fase grup Liga Champions bisa mengklaim £13,2 juta, bahkan mereka yang tersingkir dari babak play-off mendapatkan £4.4 juta. Pendapatan dari Liga Champions telah mendisrupsi sepakbola Eropa.

Hal yang sama juga terjadi pada Liga Primer karena adanya komersialisasi olahraga yang dilakukan pemilik kaya. Namun itu semua adalah sebab dari lahirnya klub-klub super. Yang kaya semakin kaya karena hak siar yang semakin besar, bahkan ada usulan lagi untuk menggelar Liga Super Eropa – persis seperti apa yang dilakukan Berlusconi pada 1987 silam.

Momen ketika Berlusconi mengambil alih AC Milan pada 1986 adalah sebuah momen bersejarah. Kekalahan Diego Maradona Lahirnya Liga Champions menjadi penyebab untuk pertama kalinya, sebuah klub sepakbola dimiliki oleh orang non-sepakbola. Dimana ia melihat potensi besar dari penyiaran televisi.

Tiga puluh empat tahun berlalu dan visi Berlusconi telah mengubah sepakbola selamanya. The Independent mencatat, dalam satu dekade terakhir terdapat musim invincible di sepuluh liga Eropa, lalu 13 dari 54 liga di Eropa didominasi oleh satu klub. Di negara-negara di luar lima besar seperti Inggris, Italia, Jerman, Spanyol, dan Prancis.

Maka uang Liga Champions terlihat merusak. Muncul satu atau dua klub yang terlampau dominan atau memiliki atmosfer berbeda dari rival-rival senegaranya. Barangkali akan ada sistem yang lebih adil untuk menjaga keutuhan dan jiwa olahraga rakyat ini.